This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 29 Desember 2013

Hanjeli Bisa Menggantikan Beras

Sebagian petani di desa Sukarasa kecamatan Darma Kab. Kuningan enggan menanam padi, lebih manyukai menanam hanjeli. Tindakan itu disebabkan  harga gabah pada saat ini sedang anjlok di  pasaran. Justru harga hanjeli relatif lebih stabil dibanding harga gabah.

Harga gabah kering dari tangan petani sekira Rp. 1.200 sampai Rp. 1.500/Kg, sedangkan hanjeli mentah harganya Rp.1.500/kg, setelah diproses menjadi bubur hanjeli seharga Rp.3.000/Kg.  Harga hanjeli yang menggiurkan itu membuat para petani desa Sukarasa meninggalkan padi.
Menurut  keterangan  Hj.  Inoh  (54)   seorang  petani sekaligus penampung  hanjeli di desa Sukarasa saat ditemui. Hanjeli merupakan makanan pokok alternatif setelah beras, jagung dan gandum. Hanjeli dapat menggantikan fungsi beras, sebab jika  diolah akan menghasilkan beras dan tepung hanjeli.
“Beras dan tepung hanjeli, sekarang ini telah menjadi bahan pokok alternatif khususnya di kota-kota besar. Selain  harganya lebih  murah  juga rasanya tidak jauh berbeda  dengan nasi  jika  sudah ditanak,” tandas Hj. Inoh.
Tanaman Hanjeli

 
Selama ini yang mengkonsumsi beras dan tepung hanjeli, tutur  Hj. Inoh,  masih  kebanyakan  orang WNI  keturunan. Sedangkan  warga  masyarakat  Indonesia belum sepenuhnya mengenal. Padahal  bagi masyarakat  yang suka jajan di rumah makan milik orang Tionghoa, bubur yang digunakannya yakni bubur hanjeli. Hanjeli  memang relatif tidak dikenal, mungkin di Kab. Kuningan hanya di desa Sukarasa saja   yang menanamnya.

Padahal pembudidayaannya sudah berlangsung sepuluh tahun yang lalu, atas prakarsa Hj. Inoh sepulang dari tanah Mekah. Tiba-tiba ada salah seorang warga Tionghoa  yang mengenalkan  jenis tanaman  mirip  gandum. Semula dirinya tidak tertarik  untuk menanam, tapi setelah diyakinkan oleh warga Tionghoa, dan siap untuk   membantu pemasarannya maka Hj. Inoh menanamnya. Lama-kelamaan  dirinya  tertarik dan lebih serius membudidayakannya. Musim panen sekarang ia menanam hanjeli seluas 3 hektar, dan siap dipanen dua bulan di muka. 

“Hanjeli merupakan tumbuhan tanpa kambium, seperti pohon jagung atau gandum. Buahnya bulat kecil-kecil, jika belum matang warna hijau sedangkan yang matang warnanya merah hati. Jika dibelah oleh kuku, dagingnya berwarna putih lunak,” tutur Hj.Inoh.

hidangan nasi hanjeli
Warga masyarakat disini pun, sekarang ini sudah jarang menanam padi. Jika dijumlahkan lahan yang ditanami hanjeli seluruhnya sekira 10 ha. Perubahan orientasi petani dikarenakan perhitungan untung rugi, jika jenis tanaman hanjeli lebih menguntungkan kenapa tidak? Kalau padi dapat memberikan keuntungan bagi petani, mungkin mereka juga akan  menanam  padi. 

Selain itu, kata Hj. Inoh, pasar sudah membuka diri terhadap hanjeli sehingga pihak petani tidak merasa dipusingkan oleh fluktuatifnya harga. Pasar potensial bagi pemasaran hanjeli adalah Cirebon, Jakarta dan Surabaya. Cirebon prosentasenya  paling  tinggi  sekira 70 persen, dibanding daerah-daerah lain, kedua Jakarta dan ketiga Surabaya. Kami tidak  tahu  apakah  di Cirebonnya hanya untuk dikonsumsi oleh lingkungannya sendiri atau menjual kembali ke pedagang besar lainnya.***

*sumber: warta desa

Kamis, 26 Desember 2013

Hanjeli Yang Hampir Punah

Sumedang, Parahyangan Post - Dalam sajian sehabis makan siang selepas acara pagelaran seni sunda di Wisata Alam Pangjugjugan belum lama ini, di dapati bersama sajian lain makanan khas kecamatan Pamulihan Peuyeum Hanjeli. Makanan unik ini rupanya sangat mengundang perhatian pengunjung, karena di kabupaten Sumedang pun hanya di kecamatan Pamulihan saja ada jenis makanan tersebut. Peuyeum hanjeli enak rasanya manis dan memilki citra rasa yang berbeda dengan peuyeum singkong dan peuyeum beras ketan. Peuyeum hanjeli sangat di minati para tamu yang datang pada saat itu. Makanan yang satu ini ternyata sudah hampir punah karena pohonnnya pun di Pamulihan susah di dapat.
Peuyeum Hanjeli

Seorang perempuan yang tua renta yang membuat peuyeum hanjeli di Cilembu. Ma Uwat demikian di panggilnya perempuan yang sudah menginjak usia 81 tahun ini ternyata hanya satu-satunya yang bisa membuat peuyeum hanjeli.
 
Ma Uwat

Di desanya desa Cilembu pohon Hanjeli menurut Ma Uwat sudah ada sejak tahun 1949. Dulu di Cilembu pohonnya cukup banyak. Tetapi dari tahun ke tahun pohon hanjeli terus berkurang. Hal ini disebabkan karena para petani kurang menyukai menanam hanjeli. Apalagi tahun ini di ujung tahun 2010, Ma Uwat seorang perempuan yang masih kelihatan segar ini, sangat prihatin karena pohon hanjeli tidak di minati. Ma Uwat bertutur bahwa hanjeli sebenarnya bisa menjadi sajian yang enak dan menarik. Karena hanjeli bisa di buat menjadi berbagai jenis makanan, bisa di bubur yang di campur gula dan santan, bisa di buat goreng ketan, di buat dodol juga jenis lain.

Rasa prihatinnnya yang dalam karena pohon hanjeli tidak di minati rupanya menggugah hati seorang H. Djajat yang meminta bantuan Ma Uwat untuk menanam hanjeli di kawasan Wisata Alam Pangjujgjujgan yang dia miliki. Ma Uwat mengaku dialah yang membuatnya seorang diri makanan dari hanjeli di tempat digelarnya acara pagelaran seni sunda tersebut.

Seiring dengan usianya yang semakin tua, seiring pula dengan punahnya pohon pohon hanjeli di Cilembu, Ma Uwat kehilangan harapan mungkin suatu masa ketika dirimya sudah tidak ada di alam wisata pangjugjugan tidak akan pernah ada lagi peuyeum hanjeli.Karena siapa lagi yang akan menanam pohon pohon itu,dan siapa lagi yang bisa membuat sajian khas dari hanjeli. Harapannya sudah semakin tipis,t etapi dia akan merasa bangga karena walau sudah tua renta masih bisa membuat sajian istimewa untuk para tamu Wisata Alam Pangjugjugan. Seandainya pohon hanjeli dilestarikan dan dikembangkan bukan hal yang tidak mungkin jika suatu saat jenis makanan dari hanjeli akan menjadi produk unggulan kecamatan Pamulihan selain ubi Cilembu yang sekarang ini telah terkenal sampai ke luar negeri. * (nuning)
 
sumber: parahyanganpost

Prof. Dr. Hj. Tati Nurmala, “Hanjeli Potensial Gantikan Padi”

[Unpad.ac.id, 03/06/2013] Bagi masyarakat Indonesia, padi atau beras menjadi bahan pangan pokok utama untuk pemenuhan kandungan karbohidrat. Padahal, sumber karbohidrat tidak hanya terdapat pada padi sebagai salah satu tanaman serealia. Bahkan, bila dilihat dari konsumsi pangan dunia, padi hanya menduduki nomor empat dalam pemenuhan pangan global. Oleh karena itu perlu adanya pengembangan bahan pangan pokok alternatif lain selain padi. Salah satu jenisnya yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia adalah hanjeli.

Prof. Dr. Hj. Tati Nurmala (Foto: Tedi Yusup)*
“Kalau kita tetap berpikir pangan pokok itu harus padi, berat beban untuk padi.  Padi ini jadi mempunyai nilai sosial, nilai ekonomi, nilai politis yang sangat berat. Kalau terjadi sesuatu misalnya bencana alam, banjir, kekeringan yang menyebabkan gagal panen maupun serangan hama yang eksplosif, produksi padinya menurun, pangan lain tidak akan bisa menunjang. Untuk itu kita siapkan atau mengadakan tanaman pokok lain yang setara dengan padi, yang penting karbohidratnya terpenuhi, ” ungkap guru besar Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad, Prof. Dr. Hj. Tati Nurmala.

Prof. Tati  saat ditemui di Fakultas Pertanian, Jatinangor, Jum’at (24/05) lalu mengungkapkan, ada jenis serealia lain yang sudah sejak lama tumbuh di Indonesia seperti sorgum, jewawut, hanjeli yang ternyata sangat potensial dan tumbuh merata hampir di semua provinsi. Selain pemeliharaan dan penanamannya lebih mudah, dilihat dari segi kandungan nutrisinya juga tidak kalah dengan padi.

Sayangnya, lanjut Prof. Tati, bahan pangan lokal ini masih langka, dan sebagai tanaman sumber karbohidrat selain padi, pamornya masih kalah dengan terigu. Padahal, untuk bahan pangan alternatif, aneka tanaman pangan lokal ini memiliki kadar gizi yang tidak kalah serta memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia karena bisa tumbuh di lahan marjinal dengan iklim kering sekalipun.

Sebagai ahli agronomi tanaman pangan yang fokus di tanaman pangan alternatif, Prof. Tati bertekad untuk terus memasyarakatkan potensi tananman lokal sebagai bahan pangan pokok alternatif baik melalui buku maupun pada seminar-seminar. Salah satu bukunya dengan judul “Serealia – Sumber Karbohidrat Utama” banyak digunakan sebagai refrensi dalam membahas tanaman pangan alternatif bagi para akademisi maupun pemerhati dunia pertanian.

Keseriusannya bergelut di bidang pangan alternatif ini bermula pada tahun 1974 ketika ia melakukan penelitian untuk studi S-1 hingga berlanjut ke S-3 mengenai tanaman serealia, yaitu gandum. Karena merasa prospek gandum dirasa kurang menjanjikan dan hanya “iming-iming” saja, maka pada tahun 1986 ia mulai beralih untuk menekuni jenis serealia lain, yaitu hanjeli.

Hanjeli yang berasal dari Asia Tenggara ini sudah berkembang di beberapa negara seperti Malaysia dan Filipina. Di Indonesia, hanjeli terdapat di hampir seluruh provinsi dan banyak dimanfaatkan sebagai makanan camilan atau dikonsumsi pada masa paceklik. “Sayangnya tanamannya tidak ditanam dengan serius,” ungkap Prof. Tati.

Di Jawa Barat, tanaman ini ditanam petani masih secara konvensional sebagai tanaman langka, dan dapat ditemukan di Punclut Kabupaten Bandung, Cipongkor, Gunung Halu, Kiarapayung, Rancakalong , Tanjungsari Kabupaten Sumedang, Sukabumi, Garut, Ciamis dan Indramayu. Masyarakat setempat sudah biasa menikmatinya hasil olahan hanjeli ini sebagai bubur, tape, dodol dan sebagainya. Selain sebagai sumber pangan pokok, hanjeli juga sangat potensial sebagai tanaman obat.

“Bagian yang menarik adalah bijinya yang mengandung gizi setara dengan beras, yakni dalam 100 gr bahan terdapat karbohidrat (76,4 %), protein (14,1 %), bahkan kaya dengan kandungan lemak nabati (7,9 %) dan kalsium yang tinggi (54,0 mgr),” jelasnya.

Sayangnya, banyak petani yang masih enggan  menanam hanjeli, padahal mereka sudah mengetahui dari dulu kegunaannya sebagai bahan pangan. Petani masih mengangap tanaman hanjeli berumur panjang, bijinya keras sehinga susah untuk diolah.

“Petani itu hanya butuh bimbingan dan motivasi. Saat ini, saya sudah  mendapatkan empat genotif hanjeli dari hasil seleksi di berbagai wilayah di Jawa Barat, yang layak untuk tanaman pangan. Kenapa ini disebut layak? Karena umurnya genjah, mudah pecah dan disosok,  serta rasanya seperti ketan. Hanjeli ini yang disebut hanjeli pulut yang siap dikembangkan sebagai tananman pokok. Apabila dibutuhkan, benihnya di kita ada, dan kita siap membantu,” tuturnya.

Menurut Prof. Tati, memasyarakatkan dan mensosialisasikan hanjeli memang tidak mudah. Prof. Tati yang juga menjabat sebagai Ketua Program Magister Ilmu Tanaman di Fakultas Pertanian Unpad ini menjelaskan, bahwa pengadaan bahan pangan alternatif harus didorong terus menerus dari hulu ke hilir. Ia tak henti dan bertekad untuk terus membimbing petani mulai dari produksi hingga pemanfaatannya, mulai dari pembinaan baik demontrasi plot, pengolahanya, rasanya, pengemasanya hingga mengusahakan tata niaganya.

“Pasar itu sebenarnya sudah tersedia meskipun masih black market. Bahkan di beberapa supermarket ada yang menjual produk hanjeli RRC, harganya kurang lebih Rp 120.000,00 per kilo. Sedangkan di daerah Punclut Lembang, Kabupaten Bandung, hanjeli lokal harga per kilonya berkisar Rp 20.000,00 hingga Rp 25.000,00 di petani setempat,” jelasnya.

Ia juga memaparkan bahwa sampai saat ini, masalah tata niaga hanjeli memang masih menjadi dilema. Menurutnya, hanjeli ini masih langka dan sampai saat ini masih banyak orang yang memanfaatkan hanjeli ini bukan sekedar bahan pangan pokok, melainkan sebagai bahan pangan herbal karena kandungan gizinya.
Sebenarnya, menurut Prof. Tati, apabila hanjeli ini bisa memasyarakat dengan harga mendekati harga beras yang cukup buat konsumen, petani tidak keberatan. Mereka sudah mendapat untung apabila dilihat dari biaya usaha tani, apalagi budi daya hanjeli tidak seintensif padi. Sehingga, apabila hanjeli ini sudah tersosialisasikan dengan baik di masyarakat,  hanjeli ini kedepannya akan menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan ketahanan pangan dan diversifikasi pangan menuju ketahanan pangan mandiri. *

Laporan oleh: Purnomo Sidik / mar *

Sumber: unpad.ac.id