Sebagian petani di desa Sukarasa kecamatan Darma
Kab. Kuningan enggan menanam padi, lebih manyukai menanam hanjeli.
Tindakan itu disebabkan harga gabah pada saat ini sedang anjlok di pasaran. Justru harga hanjeli relatif lebih stabil dibanding harga gabah.
Harga gabah
kering dari tangan petani sekira Rp. 1.200 sampai Rp. 1.500/Kg,
sedangkan hanjeli mentah harganya Rp.1.500/kg, setelah diproses menjadi
bubur hanjeli seharga Rp.3.000/Kg. Harga hanjeli yang menggiurkan itu membuat para petani desa Sukarasa meninggalkan padi.
Menurut keterangan Hj. Inoh (54) seorang petani sekaligus penampung hanjeli
di desa Sukarasa saat ditemui. Hanjeli merupakan makanan pokok
alternatif setelah beras, jagung dan gandum. Hanjeli dapat menggantikan
fungsi beras, sebab jika diolah akan menghasilkan beras dan tepung hanjeli.
“Beras dan tepung hanjeli, sekarang ini telah menjadi bahan pokok alternatif khususnya di kota-kota besar. Selain harganya lebih murah juga rasanya tidak jauh berbeda dengan nasi jika sudah ditanak,” tandas Hj. Inoh.
Tanaman Hanjeli |
Selama ini yang mengkonsumsi beras dan tepung hanjeli, tutur Hj. Inoh, masih kebanyakan orang WNI keturunan. Sedangkan warga masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mengenal. Padahal bagi masyarakat yang suka jajan di rumah makan milik orang Tionghoa, bubur yang digunakannya yakni bubur hanjeli. Hanjeli memang relatif tidak dikenal, mungkin di Kab. Kuningan hanya di desa Sukarasa saja yang menanamnya.
Padahal
pembudidayaannya sudah berlangsung sepuluh tahun yang lalu, atas
prakarsa Hj. Inoh sepulang dari tanah Mekah. Tiba-tiba ada salah seorang
warga Tionghoa yang mengenalkan jenis tanaman mirip gandum. Semula dirinya tidak tertarik untuk menanam, tapi setelah diyakinkan oleh warga Tionghoa, dan siap untuk membantu pemasarannya maka Hj. Inoh menanamnya. Lama-kelamaan dirinya tertarik
dan lebih serius membudidayakannya. Musim panen sekarang ia menanam
hanjeli seluas 3 hektar, dan siap dipanen dua bulan di muka.
“Hanjeli
merupakan tumbuhan tanpa kambium, seperti pohon jagung atau gandum.
Buahnya bulat kecil-kecil, jika belum matang warna hijau sedangkan yang
matang warnanya merah hati. Jika dibelah oleh kuku, dagingnya berwarna
putih lunak,” tutur Hj.Inoh.
hidangan nasi hanjeli |
Warga masyarakat
disini pun, sekarang ini sudah jarang menanam padi. Jika dijumlahkan
lahan yang ditanami hanjeli seluruhnya sekira 10 ha. Perubahan orientasi
petani dikarenakan perhitungan untung rugi, jika jenis tanaman hanjeli
lebih menguntungkan kenapa tidak? Kalau padi dapat memberikan keuntungan
bagi petani, mungkin mereka juga akan menanam padi.
Selain itu, kata
Hj. Inoh, pasar sudah membuka diri terhadap hanjeli sehingga pihak
petani tidak merasa dipusingkan oleh fluktuatifnya harga. Pasar
potensial bagi pemasaran hanjeli adalah Cirebon, Jakarta dan Surabaya.
Cirebon prosentasenya paling tinggi sekira 70 persen, dibanding daerah-daerah lain, kedua Jakarta dan ketiga Surabaya. Kami tidak tahu apakah di Cirebonnya hanya untuk dikonsumsi oleh lingkungannya sendiri atau menjual kembali ke pedagang besar lainnya.***
*sumber: warta desa
kang kalau di Bandung petani hanjeli di daerah mana ya?
BalasHapus