[Unpad.ac.id, 03/06/2013] Bagi masyarakat Indonesia, padi atau beras
menjadi bahan pangan pokok utama untuk pemenuhan kandungan karbohidrat.
Padahal, sumber karbohidrat tidak hanya terdapat pada padi sebagai salah
satu tanaman serealia. Bahkan, bila dilihat dari konsumsi pangan dunia,
padi hanya menduduki nomor empat dalam pemenuhan pangan global. Oleh
karena itu perlu adanya pengembangan bahan pangan pokok alternatif lain
selain padi. Salah satu jenisnya yang potensial untuk dikembangkan di
Indonesia adalah hanjeli.
“Kalau kita tetap berpikir pangan pokok itu harus padi, berat beban
untuk padi. Padi ini jadi mempunyai nilai sosial, nilai ekonomi, nilai
politis yang sangat berat. Kalau terjadi sesuatu misalnya bencana alam,
banjir, kekeringan yang menyebabkan gagal panen maupun serangan hama
yang eksplosif, produksi padinya menurun, pangan lain tidak akan bisa
menunjang. Untuk itu kita siapkan atau mengadakan tanaman pokok lain
yang setara dengan padi, yang penting karbohidratnya terpenuhi, ” ungkap
guru besar Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad, Prof.
Dr. Hj. Tati Nurmala.
Prof. Tati saat ditemui di Fakultas Pertanian, Jatinangor, Jum’at
(24/05) lalu mengungkapkan, ada jenis serealia lain yang sudah sejak
lama tumbuh di Indonesia seperti sorgum, jewawut, hanjeli yang ternyata
sangat potensial dan tumbuh merata hampir di semua provinsi. Selain
pemeliharaan dan penanamannya lebih mudah, dilihat dari segi kandungan
nutrisinya juga tidak kalah dengan padi.
Sayangnya, lanjut Prof. Tati, bahan pangan lokal ini masih langka,
dan sebagai tanaman sumber karbohidrat selain padi, pamornya masih kalah
dengan terigu. Padahal, untuk bahan pangan alternatif, aneka tanaman
pangan lokal ini memiliki kadar gizi yang tidak kalah serta memiliki
prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia karena bisa tumbuh di
lahan marjinal dengan iklim kering sekalipun.
Sebagai ahli agronomi tanaman pangan yang fokus di tanaman pangan
alternatif, Prof. Tati bertekad untuk terus memasyarakatkan potensi
tananman lokal sebagai bahan pangan pokok alternatif baik melalui buku
maupun pada seminar-seminar. Salah satu bukunya dengan judul “Serealia –
Sumber Karbohidrat Utama” banyak digunakan sebagai refrensi dalam
membahas tanaman pangan alternatif bagi para akademisi maupun pemerhati
dunia pertanian.
Keseriusannya bergelut di bidang pangan alternatif ini bermula pada
tahun 1974 ketika ia melakukan penelitian untuk studi S-1 hingga
berlanjut ke S-3 mengenai tanaman serealia, yaitu gandum. Karena merasa
prospek gandum dirasa kurang menjanjikan dan hanya “iming-iming” saja,
maka pada tahun 1986 ia mulai beralih untuk menekuni jenis serealia
lain, yaitu hanjeli.
Hanjeli yang berasal dari Asia Tenggara ini sudah berkembang di
beberapa negara seperti Malaysia dan Filipina. Di Indonesia, hanjeli
terdapat di hampir seluruh provinsi dan banyak dimanfaatkan sebagai
makanan camilan atau dikonsumsi pada masa paceklik. “Sayangnya
tanamannya tidak ditanam dengan serius,” ungkap Prof. Tati.
Di Jawa Barat, tanaman ini ditanam petani masih secara konvensional
sebagai tanaman langka, dan dapat ditemukan di Punclut Kabupaten
Bandung, Cipongkor, Gunung Halu, Kiarapayung, Rancakalong , Tanjungsari
Kabupaten Sumedang, Sukabumi, Garut, Ciamis dan Indramayu. Masyarakat
setempat sudah biasa menikmatinya hasil olahan hanjeli ini sebagai
bubur, tape, dodol dan sebagainya. Selain sebagai sumber pangan pokok,
hanjeli juga sangat potensial sebagai tanaman obat.
“Bagian yang menarik adalah bijinya yang mengandung gizi setara
dengan beras, yakni dalam 100 gr bahan terdapat karbohidrat (76,4 %),
protein (14,1 %), bahkan kaya dengan kandungan lemak nabati (7,9 %) dan
kalsium yang tinggi (54,0 mgr),” jelasnya.
Sayangnya, banyak petani yang masih enggan menanam hanjeli, padahal
mereka sudah mengetahui dari dulu kegunaannya sebagai bahan pangan.
Petani masih mengangap tanaman hanjeli berumur panjang, bijinya keras
sehinga susah untuk diolah.
“Petani itu hanya butuh bimbingan dan motivasi. Saat ini, saya sudah
mendapatkan empat genotif hanjeli dari hasil seleksi di berbagai
wilayah di Jawa Barat, yang layak untuk tanaman pangan. Kenapa ini
disebut layak? Karena umurnya genjah, mudah pecah dan disosok, serta
rasanya seperti ketan. Hanjeli ini yang disebut hanjeli pulut yang siap
dikembangkan sebagai tananman pokok. Apabila dibutuhkan, benihnya di
kita ada, dan kita siap membantu,” tuturnya.
Menurut Prof. Tati, memasyarakatkan dan mensosialisasikan hanjeli
memang tidak mudah. Prof. Tati yang juga menjabat sebagai Ketua Program
Magister Ilmu Tanaman di Fakultas Pertanian Unpad ini menjelaskan, bahwa
pengadaan bahan pangan alternatif harus didorong terus menerus dari
hulu ke hilir. Ia tak henti dan bertekad untuk terus membimbing petani
mulai dari produksi hingga pemanfaatannya, mulai dari pembinaan baik
demontrasi plot, pengolahanya, rasanya, pengemasanya hingga mengusahakan
tata niaganya.
“Pasar itu sebenarnya sudah tersedia meskipun masih black market.
Bahkan di beberapa supermarket ada yang menjual produk hanjeli RRC,
harganya kurang lebih Rp 120.000,00 per kilo. Sedangkan di daerah
Punclut Lembang, Kabupaten Bandung, hanjeli lokal harga per kilonya
berkisar Rp 20.000,00 hingga Rp 25.000,00 di petani setempat,” jelasnya.
Ia juga memaparkan bahwa sampai saat ini, masalah tata niaga hanjeli
memang masih menjadi dilema. Menurutnya, hanjeli ini masih langka dan
sampai saat ini masih banyak orang yang memanfaatkan hanjeli ini bukan
sekedar bahan pangan pokok, melainkan sebagai bahan pangan herbal karena
kandungan gizinya.
Sebenarnya, menurut Prof. Tati, apabila hanjeli ini bisa memasyarakat
dengan harga mendekati harga beras yang cukup buat konsumen, petani
tidak keberatan. Mereka sudah mendapat untung apabila dilihat dari biaya
usaha tani, apalagi budi daya hanjeli tidak seintensif padi. Sehingga,
apabila hanjeli ini sudah tersosialisasikan dengan baik di masyarakat,
hanjeli ini kedepannya akan menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan
ketahanan pangan dan diversifikasi pangan menuju ketahanan pangan
mandiri. *
Laporan oleh: Purnomo Sidik / mar *
Sumber: unpad.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar